SOSIOLOGI
PENGARANG, KARYA SASTRA,
DAN
PEMBACA
A.
Pengantar
Ketiga tipe
sosiologi sastra tersebut di atas ditawarkan oleh Wellek dan Warren
dalam bukunya Theory
of Literature
(1994:109-133). Sosiologi pengarang berhubungan dengan profesi
pengarang dan institusi sastra. Masalah yang dikaji antara lain dasar
ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan
ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di
luar karya sastra. Sosiologi karya sastra mengkaji isi karya sastra,
tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu
sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Sosiologi pembaca
mengkaji permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra, serta
sejauh mana karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar
sosial, perubahan dan perkembangan sosial.
Dengan fokus agak
berbeda, Ian Watt (via Damono, 1979), juga merumuskan wilayah kajian
sosiologi sastra yang berorientasi pada pengarang, yaitu pada posisi
sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat
pembaca.
B.
Sosiologi Pengarang
Sosiologi pengarang
dapat dimaknai sebagai salah satu kajian sosiologi sastra yang
memfokuskan perhatian pada pengarang sebagai pencipta karya sastra.
Dalam sosiologi pengarang, pengarang sebagai pencipta karya sastra
dianggap merupakan makhluk sosial yang keberadaannya terikat oleh
status sosialnya dalam masyarakat, ideologi yang dianutnya, posisinya
dalam masyarakat, juga hubungannya dengan pembaca.
Dalam penciptaan
karya sastra, campur tangan penulis sangat menentukan. Realitas yang
digambarkan dalam karya sastra ditentukan oleh pikiran penulisnya
(Caute, via Junus, 1986:8). Realitas yang digambarkan dalam karya
sastra sering kali bukanlah realitas apa adanya, tetapi realitas
seperti yang diedialkan pengarang. Dalam penelitian Junus (1986:8-9)
mengenai novel-novel Indonesia, seperti Belenggu
dan Telegram,
ditemukan bahwa kedua novel tersebut telah mencampuradukkan antara
imajinasi dengan realitas. Oleh karena itu,pemahaman terhadap karya
sastra melalui sosiologi pengarang membutuhkan data dan interpretasi
sejumlah hal yang berhubungan dengan pengarang.
Dari yang
dikemukakan oleh Wellek dan Warren, serta Watt, di atas, maka
wilayah yang menjadi kajian sosiologi pengarang antara lain adalah:
- status sosial pengarang,
- ideologi sosial pengarang,
- latar belakang sosial budaya pengarang,
- posisi sosial pengarang dalam masyarakat,
- masyarakat pembaca yang dituju,
6.
mata pencaharian sastrawan (dasar ekonomi produksi sastra)
7.
profesionalisme dalam kepengarangan.
1.
Status sosial pengarang
Status sosial sering
kali disebut sebagai kedudukan atau posisi, peringkat seseorang dalam
kelompok masyarakatnya. Status dengan status sosial sering diartikan
sendiri-sendiri. Status diartikan sebagai tempat atau posisi
seseorang dalam suatu
kelompok sosial. Status sosial adalah tempat seseorang secara umum
dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain dalam arti
lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajibannya.
Namun supaya mudah, Soerjono Soekanto (1970:239) menganggap keduanya
memiliki arti yang sama yaitu status saja. Status pada dasarnya
golongkan menjadi dua hal, yaitu
ascribed
status,
achieved
status, dan assigned
status. Ascribed
status
adalah kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan
perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena
kelahiran,misalnya anak seorang bangsawan maka sampai besar ia akan
dianggap bangsawan pula.
Pada
umumnya ascribed
status dijumpai pada masyarakat dengan sistem lapisan yang
tertutup,misalnya masyarakat feodal atau masyarakat dimana sistem
lapisan tergantung pada perbedaan rasial. Namun
tidak hanya pada sistem masyarakat tertutup saja, pada masyarakat
dengan sistem sosial terbuka juga ada. Misalnya, kedudukan laki-laki
pada suatu keluarga, kedudukannya berbeda dengan kedudukan istri dan
anak-anaknya.
Achieved
status, yaitu kedudukan yang diperoleh seseorang dengan cara
diperjuangkan, dan usaha usaha yang disengaja oleh individu itu
sendiri. Kedudukan ini bersifat terbuka untuk siapa saja tergantung
dari kemampuan masing-masing dalam mengejar, serta mencapai
tujuan-tujuannya. Misalnya, untuk menjadi seorang anggota legislatif
dibutuhkan syarat-syarat tertentu. Apabila ada seseorang yang ingin
menjadi anggota legislatif maka ia harus memenuhi syarat tersebut.
Jika terpilih nantinya maka kedudukanya dalam masyarakat akan
berubah.
Assigned
status, yaitu kedudukan yang diperoleh seseorang karena pemberian
sebagai penghargaan jasa dari kelompok tertentu. Biasanya orang yang
telah diberikan status tersebut memiliki jasa karena memperjuangkan
sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Contohnya, pemberian nobel kepada orang yang berhasil memperjuangkan
kepentingan masyarakat.
Dalam
kaitannya dengan kajian status sosial pengarang di Indonesia, hal-hal
yang berkaitan dengan ascribed
status,
achieved
status, dan assigned
status perlu diperhatikan. Hal
ini karena dalam kasus pengarang tertentu, status sosialnya tidak
terlepas dari ketiga tipe status sosial tersebut. Sastrawan Budi
Darma, misalnya dari ascribed
statusnya
berasal dari keluarga menengah, namun setelah dewasa achieved
statusnya membawanya sebagai seorang guru besar ilmu sastra dan
pernah menjabat sebagai rektor di IKIP (Unesa) Surabaya. Selanjutnya
sebagai seorang sastrawan dia pernah mendapatkan berbagai penghargaan
untuk karya sastra yang pernah ditulisnya. Status sosialnya tersebut
akan berpengaruh terhadap sejumlah karya yang diciptakannya, seperti
Olenka,
Ny Talis, Orang-orang Bloomington,
dan cerpen-cerpenya.
2.
Ideologi Sosial Pengarang
Ideologi
memiliki pengertian sebagai himpunan
dari nilai, ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan yang dimiliki oleh
seseorang atau sekelompok orang yang menjadi dasar dalam menentukan
sikap terhadap kejadian atau problem yang mereka hadapi. Dalam
kaitannya dengan kajian sastra, pengertian ideologi ini seringkali
disamakan dengan pandangan dunia (wold
vieuw)
yaitu kompleks yang menyeluruh dari gagasan-gagasan,
aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara
bersama-sama anggota suatu kelompok sosial tertentu dan
mempertentangkannya dengan kelompok sosial lainya (Goldmann,
1977:17). Karena ideologi ini dimiliki oleh suatu kelompok sosial,
maka sering disebut juga sebagai ideologi sosial.
Dalam pandangan
sosiologi pengarang, ideologi sosial yang dianut seorang pengarang
akan mempengaruhi bagaimana dia memahami dan mengevaluasi masalah
sosial yang terjadi di sekitarnya. Pengarang berideologi sosial
humanisme seperti Mochtar Lubis, misalnya akan memandang masalah
sosial politik Indonesia masa Orde Lama sebagai keadaan yang
mengakibatkan penderitaan rakyat, terutama akibat kondisi ekonomi dan
stabilitas sosial politik yang memburuk. Hal itu cukup jelas
terefleksi dalam novel Mochtar Lubis yang berjudul Senja
di Jakarta.
3.
Latar Belakang Sosial Budaya
Latar
belakang sosial budaya pengarang adalah masyarakat dan kondisi sosial
budaya dari mana pengarang dilahirkan, tinggal, dan berkarya. Latar
belakang tersebut, secara langsung maupun tidak langsung akan
memiliki hubungan dengan karya sastra yang dihasilkannya. Sebagai
manusia dan makhuk sosial, pengarang akan dibentuk oleh
masyarakatnya. Dia akan belajar dari apa yang ada di sekitarnya.
Hubungan
antara sastrawan, latar belakang sosial budaya, dan karya sastra yang
ditulisnya misalnya tampak pada karya-karya Umar Kayam, seperti Para
Priyayi
dan Jalan
Menikung.
Umar Kayam, sebagai sastrawan yang berasal dari masyarakat dan budaya
Jawa priyayi, mengekspresikan kejawaanya dalam karya-karyanya
tersebut. Dalam novel tersebut digambarkan bagaimana para tokoh yang
hidup dalam masyarakat dengan konteks budaya Jawa menghayati dirinya
sebagai manusia yang tidak terlepas dari persoalan stratifikasi
sosial masyarakat Jawa yang mengenai golongan priyayi dan wong cilik,
yang berpengaruh dalam tata sosial dan pergaulan dalam masyarakat. Di
samping itu juga bebet, bobot, bibit dalam hubungannya dengan kasus
perkawinan.
4.
Posisi Sosial Sastrawan dalam Masyarakat
Posisi
sosial sastrawan berkaitan dengan kedudukan dan peran sosial seorang
sastrawan dalam masyarakat. Di samping sebagai sastrawan,
bagaimanakah kedudukan sosial dan perannya dalam masyarakat? Apakah
seorang sastrawan itu, orang yang memiliki kedudukan dan peran sosial
cukup penting? Beberapa contoh dalam sastra Indonesia, dapat
ditemukan seorang sastrawan yang mimiliki kedudukan dan peran sosial
yang penting, misalnya Budi Darma (pengarang Olenka,
Ny Talis, Orang-orang Blomington, Derabat, Kritikus Adinan)
di samping seorang sastrawan juga seorang akademisi, guru besar di
Universitas Negeri Surabaya. Demikian juga Y.B. Mangunwijaya
(almarhum) (pengarang Burung-burung
Manyar, Trilogi Rara Mendut,
juga Rumah
Bambu)
di samping seorang sastrawan, juga seorang pastor, ilmuwan dan
arsitek, yang gagasan-gagasannya mengenai menusia dan budaya
Indonesia dianggap penting oleh masyarakat dan komunitasnya. Posisi
dan kedudukan sastrawan yang cukup penting dalam masyarakat, di
samping memiliki pengaruh terhadap isi karya sastranya, juga memiliki
pengaruh terhadap keberterimaan karya-karya yang dihasilkannya bagi
masyarakat.
5.
Masyarakat Pembaca yang Dituju
Sebagai
anggota masyarakat, dalam menulis karya sastranya sastrawan tidak
dapat mengabaikan masyarakat pembaca yang dituju. Agar karyanya dapat
diterima masyarakat, maka sastrawan harus mempertimbangkan isi dan
bahasa yang dipakai. Memang dalam berkarya sastrawan tidak tergantung
sepenuhnya atau menuruti secara pasif selera pelindung (patron) atau
publiknya, tetapi ada kemngkinan justru sastrawanlah yang
menciptakan publiknya (Wellek dan Warren, 1994). Sering kali, bahkan
seorang pengarang telah menentukan siapakah calon pembaca yang
dituju. Novel Para
Priyayi
ditulis Umar Kayam untuk ditujukan kepada pembaca yang sedikit banyak
memiliki bekal pengetahuan budaya Jawa karena dalam novel tersebut
cukup banyak ditemukan ungkapan, kosa kata, dan butir-butir budaya
Jawa yang melekat pada tokoh-tokoh dan latar masyarakat yang
digambarkannya. Demikian juga, novel Kitab
Omong Kosong
karya Sena Gumira Ajidarma ditulis untuk masyarakat yang sedikit
banyak memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan wayang, khususnya
Ramayana
karena di dalamnya ada kerangka cerita dan tokoh-tokoh wayang.
Dalam
hubungannya dengan masyarakat, Wellek dan Warren (1994) juga
menjelaskan bahwa sastrawan dipengaruhi dan mempengaruhi
masyarakatnya. Seni (sastra) dalam hal ini tidak hanya meniru
kehidupan, tetapi juga membentuknya. Pemberian nama anak dalam
masyarakat Jawa, misalnya banyak mengambil inspirasi dari nama
tokoh-tokoh wayang atau dongeng, seperti Yudhistira, Bima, Harjuna,
Sadewa, Nakula, Larasati, Shakuntala, Kresna, Panji, Candrakirana
menunjukkan adanya pengaruh sastra bagi kegidupan nyata.
6.
Mata Pencaharian Pengarang dan Profesionalisme Pengarang
Tidak
semua sastrawan bermata pencaharian dari aktivitas menulis
semata-mata. Dalam hubungannya dengan hal ini, Watt (via Damono,
1979:3) mengemukakan bagaimana seorang pengarang mendapatkan mata
pencahariannya? Apakah dia mendapatkannya dari pengayom (patron),
atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap?
Beberapa
kasus di Indonesia, seorang sastrawan memiliki kerja rangkap. Sena
Gumira Ajidarma, misalnya di samping sastrawan juga seorang dosen di
Institut Kesenian Jakarta dan Universitas Indonesia, Goenawan
Mohamad, di samping sastrawan juga seorang jurnalis (Pemred Majalah
Tempo);
Budi Darma, di samping seorang sastrawan, juga seorang Guru Besar
Sastra Inggris di Universitas Negri Surabaya; Sapardi Djoko Damono,
di samping seorang kritikus dan penyair, juga seorang Guru Besar
Sastra di Universitas Indonesia. Di samping merekan masih dapat
ditambah beberapa nama sastrawan yang memiliki pekerjaan rangkap.
Sebagai
orang yang memiliki pekerjaan rangkap, maka sudah pasti mereka
mendapatkan penghasilan bukan semata-mata dari profesinya sebagai
sastrawan. Bahkan boleh jadi, penghasilan utamanya bukanlah dari
profesinya sebagai sastrawan, tetapi dari pekerjaan lainnya.
Pekerjaan
rangkap bagi seorang sastrawan menyebabkan masalah profesionalisme
dalam kepengarangan. Sejauh mana seorang sastrawan menganggap
pekerjaannya sebagai suatu profesi. Apakah dia menganggap
pekerjaannya sebagai sastrawan sebagai profesinya utamanya, ataukah
sebagai profesi sambilan. Dalam hal ini perlu dilakukan kajian secara
empiris terhadap sejumlah sastrawan Indonesia. Di samping itu,
pekerjaan rangkap yang dipilih seorang sastrawan juga memiliki
pengaruh terhadap karya sastra yang diciptakannya, seperti sudah
diuraikan dalam masalah status dan kedudukan pengarang dalam
masyarakat.
Karena wilayah
kajian sosiologi pengarang cukup luas, maka untuk menerapkan kajian
sosiologi pengarang, diawali menentukan masalah yang akan dikaji,
salah satu masalah (misalnya status sosial) atau beberapa masalah
sekaligus (ideologi sosial, latar belakang sosial budaya, dan posisi
sosial sastrawan dalam masyarakat). Tentukan pula, siapa pengarang
yang akan dikaji (misalnya Ayu Utami atau Pramudya Ananta Toer).
Setelah itu, kumpulkan data dan informasi yang berkaitan dengan
masalah yang dipilih.
Data primer maupun
sekunder dapat dikumpulkan untuk kajian sosiologi pengarang. Untuk
pengarang yang masih hidup dan mungkin terjangkau, data primer dapat
diperoleh. Namun, untuk pengarang yang sudah menginggal, atau dari
masa lampau, data tersebut tidak dapat diperoleh, sehingga cukup data
sekunder. Analisis data yang telah dikumpulkan. Interpretasikan
keterkaitan antara data mengenai pengarang dengan karya sastranya.
7. Dua Tradisi
Kepengarangan di Indonesia: Kajian Sosiologi Pengarang oleh Jakob
Sumardjo
Jakob
Sumardjo, (Segi
Sosiologis Novel Indonesia
Bab 5, 1981) telah melakukan kajian terhadap tradisi kepengarangan
di Indonesia. Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa dunia
kepengarangan di Indonesia, dapat dikatakan dilahirkan dari dua
dunia, yaitu dunia kewartawanan dan dunia keguruan. Di samping itu,
ditemukan dunia kedokteran dan kepegawaian umumnya (Sumardjo,
1981:34).
Beradasarkan
penelitian yang dilakukan Sumardjo (1981:34) sampai awal 1980-an
ditemukan bahwa sebelum perang (maksudnya perang dunia kedua)
terdapat 14 orang pengarang yang jabatannya wartawan, 10 orang dari
jabatan guru. Sesudah perang jumlahnya meningkat. Pengarang yang
berasal dari wartawan ada 31 orang, sementara pengarang yang berasal
dari kalangan guru dan dosen ada 22 orang.
Data yang berkaitan
dengan dunia kepengarangan dan profesionalisme kepengarangan, serta
profesi rangkap tersebut menunjukkan bahwa pengarang Indonesia
sebagian besar hidup dari kewartawanan, baik sebagai redaktur suatu
koran atau majalah, atau sebagai wartawan lapangan. Menurut Sumardjo
(1981:35) kenyataan ini tidak mengherankan karena asal mulanya timbul
kesusastraan modern di Indonesia, memang disebabkan oleh munculnya
persuratkabaran. Sekitar tahun 1850 di Indonesia (Hindia Belanda)
telah terbit koran-koran dengan bahasa Melayu yang dikelola oleh
orang-orang Belanda atau Cina, dan orang-orang Melayu sendiri. Dari
lingkungan itulah, sekitar tahun 1890-an muncul roman-roman pertama
dalam bahasa Melayu pasaran yang ditulis oleh orang-orang Belanda
semacam Wiggers atau Kokkers dan orang-orang Cina seperti Lie Kim
Hok. Lantas sekitar tahun 1990-an, muncul nama-nama Indonesia asli
yang menulis roman, seperti Haji Mukti (menulis Hikayat
Siti Mariyah),
R.M. Tirtoadisuryo (menulis Busono
dan
Ny Permana),
serta Mas Marco Kartodikromo (menulis Rasa
Medeka
dan Student
Hijo).
Mereka adalah para wartawan. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh
para wartawan Indonesia seperti Adinegoro, Semaun, Abdul Muis,
Armijn Pane, Matu Mona, Mochtar Lubis, Satyagraha Hoerip, Iwan
Simaputang, sampai Putu Wijaya.
Di kalangan guru dan
dosen, kegiatan kepengarangan menurut Sumardjo (1981:35) baru
dimulai pada tahun 1908, dengan didirikannya komisi bacaan rakyat
oleh pemerintah kolonial yang kemudian bernama Balai Pustaka (1917).
Beberapa pengarang Indonesia yang berkarya melalui penerbit ini
antara lain Muhamad Kasim, Suman HS, Aman Dt. Madjoindo, Selasih, Nur
St. Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, yang semuanya berprofesi guru
pada waktu itu. Tradisi ini dilanjutkan oleh A.A. Navis, Ali Audah,
Wildan Yatim, Kuntowijoyo, Budi Darma, dan Umar Kayam.
Menurut penelitian
Sumardjo (1981) ada perbedaan karakteristik antara karya yang ditulis
oleh dua tradisi tersebut. Roman dari kalangan wartawan, pada awal
perembangannya, meskipun ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu
pasar, namun persoalan yang mereka garap lebih serius yaitu persoalan
sosial politik penduduk jajahan. Sastra mereka gunakan sebagai alat
untuk mengekepresikan kegundahan politik mereka. Roman-roman mereka
keras dan galak terhadap sistem penjajahan dan diwarnai oleh
pertentangan keras ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa sastra
bukan sekedar hiburan, tetapi juga suatu bentuk mengemukakan
permasalahan sosial politik bangsa. Sementara itu, roman karya para
guru lebih bersifat didaktis dan kolot. Yang mereka persoalkan adalah
nasib buruk kaum perempuan akibat kolotnya orang tua, seperti tampak
pada Sitti
Nurbaya, Jeumpa Aceh, dan
Kasih Tak Terlerai.
Roman-roman ini cenderung sentimentil dengan kerangka plot yang
dipasang sedemikian rupa sehingga jalan cerita menjurus kepada
memeras air mata para pembacanya Sumardjo (1981:37). Profesi guru
yang mengharuskan mereka bersikap konvensional dan hati-hati menurut
Sumardjo (1981:38) kurang menunjukkan karya-karya yang berani,
Sebagai guru dan dosen, para pengarang tersebut harus menjaga diri
sebagai benteng budaya mapan. Oleh karena itu,
pembaharuan-pembaharuan dalam kesusastraan kita jarang keluar dari
lingkungan guru, tetapi dari lingkungan wartawan. Roman-roman Iwan
Simatupang, Putu Wijaya, Armijn Pane jelas merupakan tonggak-tonggak
karya pembaharuan dan mereka adalah para wartawan.
C.
Sosiologi Karya Sastra
1.
Batasan Sosiologi Karya Sastra
Sosiologi
karya sastra adalah kajian sosiologi sastra yang mengkaji karya
sastra dalam hubungannya dengan masalah-masalah sosial yang hidup
dalam masyarakat. Sosiologi sastra ini berangkat dari teori mimesis
Plato, yang menganggap sastra sebagai tiruan dari kenyataan.
Fokus perhatian
sosiologi karya sastra adalah pada isi karya sastra, tujuan, serta
hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang
berkaitan dengan masalah sosial (Wellek dan Warren, 1994). Oleh Watt
(via Damono, 1979:4) sosiologi karya sastra mengkaji sastra sebagai
cermin masyarakat. Apa yang tersirat dalam karya sastra dianggap
mencerminkan atau menggambarkan kembali realitas yang terdapat dalam
masyarakat.
2.
Wilayah
Kajian Sosiologi Karya Sastra
Beberapa
masalah yang menjadi wilayah kajian sosiologi karya sastra adalah:
isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam
karya sastra yang berkaitan dengan masalah sosial. Di samping itu,
sosiologi karya sastra juga mengkaji sastra sebagai cermin
masyarakat, sastra sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat
kenyataan sosiobudaya suatu masyarakat pada masa tertentu (Junus,
1986), mengkaji sastra sebagai bias (refract)
dari realitas (Harry Levin).
Isi
karya sastra yang berkaitan dengan masalah sosial, dalam hal ini
sering kali dipandang sebagai dokumen sosial, atau sebagai potret
kenyataan sosial (Wellek dan Warren, 1994). Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Thomas Warton (via Wellek dan Warren, 1994) terhadap
sastra Inggris, dibuktikan bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam
ciri-ciri zamannya. Sastra menurut Warton, mampu menjadi gudang adat
istiadat, buku sumber sejarah peradaban, terutama sejarah bangkit dan
runtuhnya semangat kesatriaan.
Sebagai
dokumen sosial, sastra dapat dipakai untuk menguraikan ikhtisar
sejarah sosial. Namun, menurut Wellek dan Warren (1994) harus
dipahami bagaimana protret kenyataan sosial yang muncul dari karya
sastra? Apakah karya itu dimaksudkah sebagai gambaran yang
realistik? Ataukah merupakan satire, karikatur, atau idealisme
Romantik?
Dalam
hubungan antara karya sastra dengan kenyataan, Teeuw (1988:228)
menjelaskan bahwa karya sastra lahir dari peneladanan terhadap
kenyataan, tetapi sekaligus juga model kenyataan. Bukan hanya satra
yang meniru kenyataan, tetapi sering kali juga terjadi sebuah norma
keindahan yang diakui masyarakat tertentu yang terungkap dalam karya
seni, yang kemudian dipakai sebagai tolok ukur untuk menyataan.
Kajian
sosiologi karya sastra memiliki kecenderungan untuk tidak melihat
karya sastra sebagai suatu keseluruhan, tetapi hanya tertarik kepada
unsur-unsur sosiobudaya yang ada di dalam karya sastra. Kajian hanya
mendasarkan pada isi cerita, tanpa mempersoalkan struktur karya
sastra. Oleh karena itu, menurut Junus (1986:3-5), sosiologi karya
sastra yang melihat karya sastra sebagai dokumen sosial budaya
ditandai oleh: (1) unsur (isi/cerita) dalam karya diambil terlepas
dari hubungannya dengan unsur lain. Unsur tersebut secara langsung
dihubungkan dengan suatu unsur sosiobudaya karena karya itu hanya
memindahkan unsur itu ke dalam dirinya. (2) Pendekatan ini dapat
mengambil citra tentang sesuatu, misalnya tentang perempuan, lelaki,
orang asing, tradisi, dunia modern, dan lain-lain, dalam suatu karya
sastra atau dalam beberapa karya yang mungkin dilihat dalam
perspektif perkembangan. (3) Pendekatan ini dapat mengambil motif
atau tema yang terdapat dalam karya sastra dalam hubungannya dengan
kenyataan di luar karya sastra.
Pendekatan ini ada
kecenderungan melihat hubungan langsung (one-to
one-cerrespondence)
antara unsur karya sastra dengan unsur dalam masyarakat yang
digambarkan dalam karya itu (Swingewood, via Junus, 1986:7). Oleh
karena itu, pengumpulan dan analisis data bergerak dari unsur karya
sastra ke unsur dalam masyarakat, dan menginterpretasikan hubungan
antara keduanya. Analisis hendaknya mempertimbangkan apa yang
dikemukakan oleh Wellek dan Warren: apakah karya itu dimaksudkah
sebagai gambaran yang realistik? Ataukah merupakan satire, karikatur,
atau idealisme Romantik?
3. Perlawanan
terhadap Budaya Patriarki dalam Konteks Indonesia dalam Novel Saman:
Telaah Sosiologi Karya Sastra
Berikut ini
diuraikan contoh telaah sosiologi karya sastra terhadap novel Saman
karya Ayu Utami. Fokus kajian adalah isi novel yang dianggap sebagai
pencerminan atas realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat
Indonesia pada tahun 1980-1990-an.
Pada tahun 1998
dunia sastra Indonesia digemparkan oleh munculnya novel Saman
karya Ayu Utami, yang oleh dewan juri yang terdiri dari Sapardi Djoko
Damono, Faruk, dan Ignas Kleden dijadikan sebagai novel terbaik dalam
sayembara penulisan novel 1998 Dewan Kesenian Jakarta. Berbagai
pujian pun dilontarkan oleh para pembaca terhadap novel tersebut.
Damono mengatakan bahwa Saman
memamerkan teknik komposisi yang sepanjang pengetahuannya belum
pernah dicoba pengarang lain di Indonesia, bahkan mungkin di negeri
lain. Sementara itu, Faruk mengatakan bahwa di dalam sejarah sastra
Indonesia tak ada novel yang sekaya ini, yang lebih kaya daripada
Para
Priyayi-nya
Umar Kayam. Ignas
Kleden pun mengatakan bahwa kata-kata dalam Saman
bercahaya
seperti kristal.
Selain
kemenarikan seperti yang diuraikan oleh para dewan juri, ada hal lain
yang menarik dari novel itu, yang merupakan perkembangan lebih lanjut
dari novel-novel sebelumnya, terutama dalam menggambarkan persoalan
yang berkaitan dengan sosok wanita. Novel tersebut, yang ditulis oleh
seorang wanita yang usianya relatif masih muda (27 tahun ketika novel
itu ditulis), menggambarkan cara berpikir, bersikap, dan
impian-impian perempuan dengan cara pengungkapan yang dapat dikatakan
sangat terbuka, jujur, dan tanpa tedheng
aling-aling.
Meskipun
novel tersebut berjudul Saman,
yang mengacu pada tokoh pria dalam novel tersebut, namun sebagian
besar cerita menggambarkan kisah dan kehidupan empat orang tokoh
perempuan muda, yaitu Laila (yang pada masa remajanya pernah
tergila-gila pada Saman), Shakuntala, Cok, dan Yasmin. Awal cerita
novel itu bahkan menceritakan Laila yang sedang mabuk kepayang dan
menunggu Sihar (pria beristri janda yang kemudian menjadi pacarnya)
di sebuah taman (Central Park) di New York. Selanjutnya, cerita
disusul dengan flasback
awal mula perkenalan Laila dengan Sihar setelah sebuah kecelakaan
terjadi di sebuah proyek pengeboran minyak lepas pantai, yang
kemudian membawa Laila dan teman-temanya berhubungan dengan Saman,
yang waktu itu masih bernama Wisanggeni dengan profesi sebagai
seorang pastor. Baru pada bagian tengah novel, cerita tentang tokoh
Saman dikemukakan, mulai dari masa kecilnya, sampai pilihannya
menjadi seorang pastor. Keterlibatannya dalam sebuah revolusi sosial
di daerah transmigran di Sumatra Selatan yang menyebabkan dirinya
harus berganti nama Saman selepas dia ditahan dan disiksa ala Pius
Lustrilanang dkk. bulan Mei 1998 lalu oleh kelompok tertentu yang
mewakili sebuah kekuasaan Orde Baru. Cerita itu pun diselingi dengan
cerita tentang Shakuntala, sahabat Laila, yang menjadi peneliti dan
koreografer di New York dan masa lalu empat sekawan tersebut, lengkap
dengan hubungan dan pandangan-pandangan mereka tentang pria.
Ada
yang menarik dari teknik point
of view
dalam novel ini. Ketika yang diceritakan tokoh-tokoh perempuan,
ternyata narator menggunakan point
of view
akuan, sehingga ada dua akuan di sini. Akuan Laila pada bagian awal
novel dan akuan Shakuntala pada bagian tengah novel. Sementara itu,
ketika fokus yang diceritakan pria (Sihar dan Saman) digunakan teknik
orang ketiga. Point
of view
tersebut dapat dikatakan menunjukkan adanya keterkaitan ideologi
feminisme yang menempatkan perempuan sebagai subjek, yaitu sebagai
fokus yang berbicara dan beraksi. Dalam novel tersebut dengan jelas
akan tampak bagaimana para perempuan menjadi subjek yang memaparkan
pengalamannya, gagasan-gagasannya, serta impian-impiannya menjadi
lebih kuat, lebih-lebih dengan gaya cerita yang cenderung terbuka
(blak-blakan),
seperti ini.
“Dan
kalau dia datang ke taman ini, saya akan tunjukkan betapa sketsa yang
saya buat karena kerinduan saya padanya. Serta beberapa sajak di
bawahnya.
Kuinginkan mulut yang haus/dari lelaki yang kehilangan masa
remajanya/di antara pasir-pasir tempat ia menyisir arus.
Saya tulis demikian pada sebuah gambar cat air…..” (Utami, 1998:
3).
Di
samping itu, para tokoh perempuan dalam Saman
adalah figur perempuan muda masa kini yang kesemuanya memiliki karier
dan aktivitas di sektor publik. Laila menjadi fotografer sebuah
majalah di Jakarta, Cok seorang pengusaha hotel, Yasmin seorang
pengacara, dan Shakuntala seorang peneliti dan koreografer tari yang
mendapat beasiswa belajar dan meneliti tari di New York. Mereka bukan
lagi para perempuan seperti Sitti Nurbaya (Sitti
Nurbaya),
Mariamin (Azab
dan Sengsara),
Lasi (Bekisar
Merah),
maupun Sri Sumarah (Sri
Sumarah dan Bawuk) yang
memiliki kecenderungan sebagai sosok yang nasibnya diatur oleh budaya
yang menempatkan mereka pada posisi dan peran yang tidak sama dengan
pria. Dalam hubungannya dengan sosok perempuan dalam novel
sebelumnya, mereka lebih dekat dengan tokoh-tokoh perempuan pada
novel Dini dan Mangunwijaya. Dalam Jalan
Bandungan,
Dini menggambarkan sosok perempuan seperti Muryati, seorang guru SD
yang mendapatkan beasiswa pendidikan ke Belanda, di samping jiwa
emansipatoris. Sementara Burung-burung
Manyar
karya Mangunwijaya menggambarkan sosok perempuan Indonesia yang sejak
awal kemerdekaan Indonesia telah aktif sebagai sekretaris Perdana
Menteri dan pada akhirnya mencapai puncak karier sebagai doktor
biologi dengan predikat maxima
cumlaude
dan menjabat sebagai dirjen Pelestarian Alam.
Apabila
dipahami secara sosiokultural, sosok perempuan yang digambarkan dalam
Saman
menunjukkan adanya gejala pengingkaran terhadap ideologi familialisme
dalam masyarakat berkultur patriarki (Kusujiarti, 1997:90). Dalam
masyarakat yang menganut ideologi familialisme disebutkan bahwa peran
utama perempuan adalah di rumah sebagai ibu dan istri. Sementara
peran utama laki-laki adalah sebagai penguasa utama rumah tangga yang
memiliki hak-hak istimewa dan otoritas terbesar dalam keluarga,
sehingga anggota keluarga yang lain, termasuk istri harus tunduk
kepadanya.
Dari
karier dan aktivitas Laila dan teman-temannya tampak bahwa mereka
merupakan sosok perempuan yang mencoba untuk keluar dari dan
mengingkari ideologi familialisme tersebut, yang dalam masyarakat
Indonesia masih demikian kuat mengakar (Bdk. Yuarsi, 1997:246).
Mereka adalah contoh figur yang melakukan pengingkaran terhadap
ideologi familialisme dengan berusaha merekonstruksi sejarah
kehidupannya dengan membangun identitas baru bagi dirinya, tidak lagi
hanya sebagai istri atau ibu, tetapi juga sebagai pekerja dan wanita
karier (Abdullah, 1997:17). Dari keempat tokoh itu, hanya Yasmin yang
sudah menikah, tetapi dia pun tidak lagi harus menjadi ibu rumah
tangga semata.
Apabila
dipahami dalam konteks sosiologi, khususnya yang berhubungan dengan
perjuangan emansipasi perempuan di Indonesia, keempat tokoh tersebut
dapat dikatakan merupakan represntasi dari para wanita yang telah
mendapatkan kemerdekaannya. Mereka sadar akan posisi dan perannya
yang harus seimbang dengan pria. Walaupun mereka juga masih hidup
dalam lingkungan masyarakat yang mengagungkan keunggulan patriarki
dan ideologi familialisme. Sikap dan cara berpikir mereka seringkali
menunjukkan perlawanannya terhadap ideologi tersebut, walaupun tidak
semuanya berhasil. Terbukti Laila dan Shakuntala tidak pernah mampu
membebaskan dirinya secara total dalam bayang-bayang kekuasaan
pengawasan ayahnya, sampai-sampai masuk dalam mimpi-mimpinya.
“Saya
tadi bermimpi, Sihar. Kita berada di sebuah pesta. Ternyata
perkawinan kita. Ada penghulu, juga korden. Seperti perkawinan
rahasia. Tapi kemudian di balik tirai itu, masih agak jauh tetapi
menuju kemari saya melihat ayah. Ya. Ayah berjalan terburu-buru…..”
(Utami, 1998: 31).
Maka,
ketika mendapat kesempatan menari (berkarier) di New York, Shakuntala
amat bahagia, karena menurutnya dia dapat jauh dengan ayahnya,
sebagai simbol patriarki yang dibencinya.
“Aku
akan menari, dan menari jauh dari ayahku. Betapa menyenangkan.
Lalu
aku melobi mereka agar tidak memaksaku mengenakan nama ayahku dalam
dokumen-dokumen, sebab kami tak punya konsep itu…..” (Utami,
1998: 138).
… Kemudian
aku mengerti bahwa New York bukan negeri raksasa. Tapi aku tidak
kecewa, sebab aku telah jauh dari ayahku …. (Utami,
1998: 140).
Dari beberapa
kutipan tersebut tampak jelas bagaimana tokoh-tokoh perempuan dalam
novel tersebut merasa terbelenggu dalam kultur patriarki dan ingin
bebas darinya. Penolakan terhadap dominasi patriarki juga tampak pada
ke- tersinggungan Laila atas sikap Saman, ketika Sihar menyuruhnya
menyingkir karena dia akan berbicara berdua dengan Saman, dengan
dalih yang mereka bicarakan adalah urusan laki-laki.
“Ada
satu hal yang mengeherankan dan tidak menyenangkan saya dalam
perjalanan ini. Di sebuah restoran di Prabumulih, Saman meminta saya
masuk ke dalam dulu. Saya menolak, tetapi ia terkesan memaksa, sebab
mereka perlu bicara berdua saja.
“Urusan
lelaki,” kata Saman. Itu membuat saya tersinggung, tetapi juga
heran. Dulu Saman tidak begitu. (Utami, 1998: 32)
Dengan
tegas bahkan Shakuntala memprotes budaya yang menunjukkan dominasi
laki-laki yang tampak pada aturan yang mewajibkan seorang anak yang
belum menikah mencantumkan nama ayahnya dalam visanya.
“Kenapa
ayahku harus tetap memiliki bagian dariku? Tapi hari-hari ini semakin
banyak orang Jawa tiru-tiru Belanda. Suami istri memberi nama si
bapak pada bayi mereka sambil menduga anaknya bahagia dan beruntung
karena dilahirkan. Alangkah melesetnya. Alangkah naifnya(...) Kenapa
pula aku harus memakai nama ayahku? Bagaimana dengan nama ibuku?”
(Utami, 1998:138).
Pandangan
dan sikap Shakuntala menunjukkan protesnya terhadap ketidakadilan
gender yang terjadi dalam kehidupan sosial. Dalam hal-hal tertentu
masyarakat seringkali meremehkan peran dan keberadaan ibu dalam
hubungannya dengan anaknya. Dalam bagian lain novel tersebut juga
terdapat kritik yang disampaikan oleh Shakuntala terhadap
ketidakadilan gender dalam masyarakat Jawa, yang tampak pada upacara
perkawinan Jawa ketika sahabatnya Yasmin Moningka menikah dengan
orang Jawa dalam adat Jawa.
“Yasmin
Moningka orang Menado, tapi ia setuju saja untuk menikah dengan adat
Jawa yang rumit itu. Ia
juga rela mencuci kaki Lukas sebagai tanda sembah bakti istri kepada
suami, yang tak ada dalam upacara di Menado.
“Kok
mau-maunya sih pakai acara begitu?” aku protes.
“Ah,
Yesus juga mencuci kaki murid-muridnya, lagi pula kamu sendiri orang
Jawa? Aku mau memberondongkan panjang lebar tentang Yesusnya dan
jawaku. Misalnya cuci-cucian Yesus itu adalah sebuah
penjungkirbalikan nilai-nilai, sementara yang dilakukan istri Jawa
adalah kepatuhan dan ketidakberdayaan. Tidak sejajar sama sekali.”
(Utami, 1998: 154).
Ketidakadilan
gender yang tampak pada kutipan tersebut, berkaitan dengan ideologi
familialisme yang demikian kuat mengakar dalam masyarakat Jawa
(Kusujiarti, 1997:90). Dalam masyarakat ideologi tersebut ikut
melegalisasi perbedaan peran dan kedudukan laki-laki dengan wanita
dalam masyarakat adalah ideologi familialisme.
Familialisme
adalah ideologi yang mengatur peran dan kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam famili (keluarga). Ideologi ini memandang bahwa
peran utama laki-laki adalah sebagai penguasa utama rumah tangga yang
memiliki hak-hak istimewa dan otoritas terbesar dalam keluarga,
sehingga anggota keluarga lain, termasuk istri harus tunduk
kepadanya. Sementara itu, peran wanita yang utama adalah di sekitar
rumah tangga sebagai ibu dan istri (Kusujiarti, 1997:90-92). Akibat
dari berlakunya ideologi tersebut adalah munculnya ketidakadilan
gender dan dominasi patriarki. Perilaku dan kehidupan orang Jawa
hampir semuanya dijiwai oleh ideologi tersebut. Sejak kecil makhluk
perempuan telah dipersiapkan pada perannya sebagai seorang istri dan
ibu. Mereka harus dilatih pekerjaan rumah tangga dengan membantu
ibunya. Bahkan, ketika menikah pun, dalam prosesi upacaranya diwarnai
dengan simbol-simbol yang menyadarkan bagaimana tugas dan
kewajibannya kepada suami dan rumah tangganya. Itulah yang dikritik
Shakuntala, yang juga orang Jawa dalam Saman.
Dalam
perspektif sosiologi karya sastra, sosok, karakter, dan gagagan para
perempuan dalam Saman,
dapat dipandang sebagai bentuk representasi dari kondisi perempuan
Indonesia 1990-an, yang sesuai dengan latar waktu dalam novel
tersebut.
D.
Sosiologi
Pembaca dan Dampak Sosial Karya Sastra
Sosiologi pembaca
merupakan salah satu model kajian sosiologi sastra yang memfokuskan
perhatian kepada hubungan antara karya sastra dengan pembaca. Hal-hal
yang menjadi wilayah kajiannya antara lain adalah permasalahan
pembaca dan dampak sosial karya sastra, serta sejauh mana karya
sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan
perkembangan sosial (Wellek dan Warren, 1994). Di samping itu, juga
mengkaji fungsi sosial sastra mengkaji sampai berapa jauh nilai
sastra berkaitan dengan nilai sosial (Watt, via Damono, 1979).
1.
Pembaca
Pembaca
merupakan audiens yang dituju oleh pengarang dalam menciptakan karya
sastranya. Dalam hubungannya dengan masyarakat pembaca atau
publiknya, menurut Wellek dan Warren (1994), seorang sastrawan tidak
hanya mengikuti selera publiknya atau pelindungnya, tetapi juga dapat
menciptakan publiknya. Menurutnya, banyak sastrawan yang melakukan
hal tersebut, misalnya penyair Coleridge. Sastrawan baru, harus
menciptakan cita rasa baru untuk dinikmati oleh publiknya.
Beberapa
sastrawan Indonesia, juga memiliki publik yang berbeda-beda, sesuai
dengan aliran sastra, gaya bahasa, serta isi karya sastranya. Iwan
Simatupang, Budi Darma, dan Putu Wijaya memiliki publik pembaca yang
berbeda dengan Umar Kayam, Ahmat Tohari, atau pun Pramudya Ananta
Toer. Karya-karya Iwan Simatupang, Budi Darma, dan Putu Wijaya yang
berkecenderungan beraliran surealistis, inkonvensional, dan penuh
dengan renungan filosofi mengenai hidup manusia lebih sesuai untuk
publik yang memiliki latar belakang intelektual perguruan tinggi dan
kompetensi sastra yang relatif tinggi. Sementara karya-karya Umar
Kayam dan Ahmat Tohari yang cenderung beraliran realisme,
konvensional, bicara mengenai masalah-masalah sosial budaya memiliki
publik lebih luas, hampir sebagian masyarakat pembaca Indonesia
dapat menikmati karya-karya mereka.
Perlu
dilakukan kajian secara empiris mengenai siapa sajakah pembaca yang
secara nyata (riel) membaca karya-karya pengarang tertentu. Apa
motivasinya membaca karya tersebut? Apakah mereka membaca karena
ingin menikmatinya sebagai sebuah karya seni? Membaca karena harus
melakukan penelitian terhadap karya-karya tersebut? Atau membaca
karena harus memilih karya-karya tertentu untuk berbagai kepentingan,
seperti menyeleksi karya-karya yang harus dijadikan bahan bacaan
wajib di sekolah (proyek Dinas Pendidikan Dasar dan Mengengah,
Depdiknas), memililih karya terbaik dalam sebuah sayembara penulisan
karya sastra (proyek Dewan Kesenian Jakarta, Yayasan Khatulistiwa,
atau Yayasan Nobel), bahkan juga membaca untuk membuat resensi yang
lebih berpretensi kepada promosi sebuah karya sastra baru agar
dikenal dan dipilih oleh masyarakat pembaca secara lebih luas. Perlu
diteliti juga bagaimana para pembaca tersebut menilai dan menanggapi
karya sastra yang telah dibacanya? Faktor-faktor apa sajakah (secara
sosiologis dan psikologis) yang berpengaruh dalam menilai dan
menanggapi karya sastranya?
2.
Dampak dan fungsi sosial karya sastra
Setelah
sampai kepada pembaca, karya sastra akan dibaca, dihayati, dan
dinikmati pembaca. Dalam bukunya, Ars
Poetica
(tahun 14 SM), Horatius (via Teeuw, 1988:183) telah mengemukakan
tugas dan fungsi seorang penyair dalam masyarakat, yaitu dulce
et utile
(berguna dan memberi nikmat atau sekaligus mengatakan hal-hal yang
enak dan berfaedah untuk kehidupan. Apa yang dikemukakan oleh
Horatius tersebut kemudian menjadi dasar perkembangan teori
pragmatik, sosiologi pembaca, dan resepsi sastra.
Dalam hubungannya
dengan fungsi sosial sastra, Ian Watt (via Damono, 1979) membedakan
adanya tiga pandangan yang berhubungan dengan fungsi sosial sastra,
yaitu (1) pandangan kaum romantik yang menganggap sastra sama
derajatnya dengan karya pendeta atau nabi, sehingga sastra harus
berfungsi sebagai pembaharu dan perombak; (2) pandangan “seni
untuk seni”, yang melihat sastra sebagai penghibur belaka; (3)
pandangan yang bersifat kompromis, di satu sisi sastra harus
mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dalam kajian
sosiologi pembaca menurut Junus (1986:19), yang dipentingkan adalah
reaksi dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra tertentu,
sedangkan karya sastranya sendiri diabaikan, menjadi periferal. Untuk
melihat reaksi dan penerimaan pembaca terhadap suatu karya sastra,
menurut Lowental (via Junus, 1986:19) perlu diperhatikan iklim
sosiobudaya masyarakatnya. Hal ini karena latar belakang sosial
budaya masyarakatlah yang membentuk cita rasa dan norma-norma yang
digunakan pembaca dalam menanggapi karya sastra tertentu.
Untuk
menerapkan kajian ini terlebih dulu perlu ditentukan wilayah
kajiannya, misalnya apakah akan membatasi pada komunitas pembaca
tertentu yang membaca dan menanggapi karya tertentu, ataukah akan
meneliti juga bagaimana karya tertentu ditanggapi oleh pembacanya,
faktor-faktor sosial budaya politik yang melatarbelakangi tanggapan
pembaca, ataukah bagaimana pembaca memanfaatkan karya tertentu?
Setelah menentukan wilayah kajiannya, selanjutnya kumpulkanlah data
yang diperlukan, dilanjutkan dengan memaknai data tersebut.
3.
Dampak Sosial Sastra: Kasus Heboh Sastra “Langit Makin Mendung”
Peristiwa
heboh sastra yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1968.
Peristiwa tersebut berhubungan dengan pembredelan majalah Sastra
No. 8, tahun 6, Agustus 1968 oleh Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara dan
mengadilan terhadap H.B. Jassin selaku redaktur majalah tersebut
setelah pemuatan cerita pendek “Langit Makin Mendung” karya
Kipanjikusmin merupakan contoh kasus untuk dampak sosial karya sastra
bagi masyarakat. Dari isinya cerita pendek “Langit Makin Mendung”
dianggap telah menghina agama Islam, Allah, Nabi Muhammad, Sahabat
Abu Bakar, Usman, Ali, juga Nabi Adam. Dalam cerpen tersebut
digambarkan bagaimana para “pensiunan nabi” di sorga mengalami
kebosanan. Kemudian, dengan dipelopori oleh Nabi Muhammad, mengajukan
petisi kepada Tuhan untuk turba ke bumi.
Membaca petisi para
nabi, Tuhan terpaksa mengeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir pada
ketidakpuasan di benak manusia... Dipanggillah penandatangan pertama:
Muhammad dari Madinah, Arabia. Orang bumi biasa memangilnya Muhammad
saw...
“Daulat, ya
Tuhan.”
“Apalagi yang
kurang di surgaku ini? Bidadari jelita berjuta....”
Dampak
dari pelarangan majalah Sastra
yang memuat cerpen tersebut adalah munculnya polemik mengenai
peristiwa tersebut di sejumlah majalah dan surat kabar. Di samping
itu, sejumlah pengarang di Jakarta telah mengeluarkan suatu protes
atas pelarangan majalah Sastra. Para pengarang yang menandatangani
surat protes tersebut, antara lain H.B.Jassin, Trisno Sumardjo (Ketua
Dewan Kesenian Jakarta), D. Djajakusuma (Ketua Badan Pembina Teater
Nasional Indonesia), Umar Kayam (Dirjen Film, Radio dan TV), Taufiq
Ismail (Penyair Angkatan 66 dan kolumnis Islam), Slamet Sukirnanto
(anggota DPRGR/MPRS dan wakil Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dalam
Presidium KAMI), dll. (Tasrif, dalam Pledoi
Sastra,
2004:143-144).
Sejumlah
penulis yang melakukan polemik di media massa antara lain adalah H.B.
Jassin (“Tuhan, Imajinasi Manusia, dan Kebebasan Mencipta”
Horison,
11, Novemver 1968), S. Tasrif SH (“Larangan Beredar Majalah
Sastra”,
Pelopor Baru,
15 Oktober 1968), Jusuf Abdullah Puar (“Cerpen Sastra
Menghina
Nabi Muhammad,” Operasi
Minggu,
20 Oktober 1968), Bur Rasuanto (“Larangan Beredar Majalah Sastra,”
Mingguan Angkatan
Bersenjata,
20 dan 27 Oktober 1968), dsb. Dari sejumlah artikel tersebut, ada dua
kelompok, yaitu kelompok yang membela Kipanjikusmin dan H.B. Jassin,
dan kelompok yang marah terhadap Kipanjikusmin karena telah ditudih
menghina agama Islam, Tuhan, serta para nabi dan sahabat-sahabatnya.
Cerpen
“Langit Makin Mendung” dan artikel yang berpolemik seputar
pelarangan cerpen dan majalah Sastra tersebut dapat dibaca dalam buku
Pledoi
Sastra: Kontroversi Langit Makin Mendung Kipanjikusmin (2004).
Dengan membaca buku tersebut, kita akan memahami bagaimana sebuah
cerita pendek dapat menimbulkan dampak sosial yang cukup serius pada
masanya. Bahkan, karena bersikukuh tidak mau
memberitahukan siapa sebenarnya Kipanjikusmin yang mengarang cerpen
“Langit Makin Mendung”, H.B. Jassin telah mempertaruhkan dirinya
untuk diadili oleh Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara
maupun oleh para pembaca yang marah terhadap isi cerpen tersebut.
1)Jelaskan apa yang dimaksud dengan
sosiologi?
Jawaban: Sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat atau ilmu tentang kehidupan masyarakat. Menurut Selo Sumarjan (1990;5) Sosilogi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk didalamnya perubhan-perubahan social. Jadi secara singkat sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial.
2)Permasalahan apa yang terjadi dalam sosiologi sastra? (kemukakan berdasarkan pendapat para ahli).
Jawaban:
a.Swingewood: Mutu sosiologi sastra buruk
Menurut Swingewood sosiologi satra buruk (dalam Damono 1978:8) kebanyakan tulisan sosiologi sastra sangat buruk mutunya, setidak - tidaknya karangan semacam itu biasanya tidak ilmiah, pandangan sosiologisnya sangat ketinggalan dan sering hanya berisi hubungan – hubungan ngawor antara teks sastra dan sejarah.
b.Menurut Rene Wellek & Austi Warren: Sastra bersifat sempit dan eksternal.
Wellek dan Werren mengatakan bahwa biasanya masalah seputar sastra dan masyarakat bersifat sempit dan eksternal. Sastra dikaitkan dengan situasi tertentu atau dengan system politik, ekonomi dan sosial tertentu, Penelitian dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan kedudukan sastra dalam masyarakat.
c.Wolf : Sosiologi sastra sebagai tanpa bentuk.
Menurut Wolf (Faruk, 1994: 3) sosiologi sastra sebagai tanpa bentuk, tidak terdefinisikan, kumpulan yang belum utuh.
a.Tentang kepengarangan
b.Tentang produksi dan distribusi karya sastra
c.Tentang sastra dalam masyarakat primitive
d.Tentang hubungan nilai dalam seni dan nilai dalam masyarakat
e.Tentang data historis mengenai hubungan sastra dan masyarakat
f.Sosiologi Perstehen atau fenemenenologis
d.Daiches: data social tidak akurat untuk menilai karya sastra
Kritikus lain yang melancarkan serangan terhadap campur tangan sosiologi dalam kritik diperhatikan, yaitu : pertama masalah hubungan data sosiologis dan kritikus sastra dan kedua hubungan antara nilai sosiologis dan nilai sastra.
3)Jelaskan konsep-konsep sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Ian Watt, Wellek dan Garbstein!
Jawaban:
a.konsep sosiologi sastra menurut Ian Watt ( Damono,1978;3) Mengemukakan bahwa dalam sosiologi sastra yang dipelajari meliputi:
Konteks social pengarang. a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencaharian (pengayom, dari masyarakat atau kerja rangkap), misalnya Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bahcri yang bekerja sebagai penyair saja demikian juga Rendra dengan teaternya. b)keprofesionalisme kepengarangan, misalnya Chairil Anwar yang murni yang murni sebagai sastrawan. c)masyarakat apa yang dituju: karya-karya Danarto dan Sutardji Calzoum.
Sastra sebagai cermin masyarakat. Sastra dapat mencerminkan masyarakat, Menampilkan factor-faktor dalam masyarakat: lintah darat, kawin paksa (Siti Nurbaya).
Jender sastra sering merupakan satu sikap kelompok tertentu. Contoh novel-novel karya Putu Wijaya.
Sastra yang menampikan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya. Contohnya novel Merahnya Merah (menceritakan kehidupan gelandangan)
b.konsep sosiologi sastra menurut Wellek dan Waren.
Menurut Wellek konsep sosiologi sastra melibatkan sosiologi pengarang, sosiologi karya dan sosiologi pembaca.
Sosiologi Pengarang.
Sosiologi pengarang profesi pengarang dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra latar belakang social, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.
Sosiologi Karya
Sosiologi karya maksudnya isi karya sastra tujuan serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah social. Pandangan-pandangan Wellek dan Warren tentang sosiologi karya mencakup pendekatan-pendekatan yang dapat diterapkan di dalam penilitian.
Sosiologi Pembaca
Yang terakhir adalah permasalahan pembaca dan dampak social karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar social, perubahan dan perkembangan social.
c.konsep sosiologi sastra menurut Garbstien.
Adapun secara singkat Garbstien mengungkapkan konsep tentang sosiologi sastra, yaitu:
karya sastra tidak dapat dipahami selengkapnya tanpa dihubungkan dengan kebudayaan dan peradaban yang menghasilkannya.
Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk teknik penulisnya.
Karya sastra bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu prestasi.
4) Apa yang dimaksud pandangan karya sastra merupakan cerminan zaman?
Jawaban: Pandangan karya sastra merupakan cerminan zaman yaitu pandangan yang beranggapan bahwa karya sastra merupakan cerminan langsung dari berbagai struktur social, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas. Dalam hal ini tugas sosiologis sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi-situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya.
5) Jelaskan mengapa Swingewood memberikan pandangan yang lebih positif dan tidak berpihak pada pandangan yang menganggap sastra sebagai sampingan dalam analisis sosiologis karya sastra!
Jawaban: Karena dalam melakukan analisis sosiologis terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati mengartikan slogan ”sastra adalah cermin masyarakat” dan selanjutnya slogan tersebut melupakan pengarang, kesadaran dan tujuannya. Swingewood menyadari bahwa sastra diciptakan pengarang dengan menggunakan seperangkat peralatan tertentu dan seandainya sastra memang merupakan cermin masyarakatnya.
Jawaban: Sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat atau ilmu tentang kehidupan masyarakat. Menurut Selo Sumarjan (1990;5) Sosilogi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk didalamnya perubhan-perubahan social. Jadi secara singkat sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial.
2)Permasalahan apa yang terjadi dalam sosiologi sastra? (kemukakan berdasarkan pendapat para ahli).
Jawaban:
a.Swingewood: Mutu sosiologi sastra buruk
Menurut Swingewood sosiologi satra buruk (dalam Damono 1978:8) kebanyakan tulisan sosiologi sastra sangat buruk mutunya, setidak - tidaknya karangan semacam itu biasanya tidak ilmiah, pandangan sosiologisnya sangat ketinggalan dan sering hanya berisi hubungan – hubungan ngawor antara teks sastra dan sejarah.
b.Menurut Rene Wellek & Austi Warren: Sastra bersifat sempit dan eksternal.
Wellek dan Werren mengatakan bahwa biasanya masalah seputar sastra dan masyarakat bersifat sempit dan eksternal. Sastra dikaitkan dengan situasi tertentu atau dengan system politik, ekonomi dan sosial tertentu, Penelitian dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan kedudukan sastra dalam masyarakat.
c.Wolf : Sosiologi sastra sebagai tanpa bentuk.
Menurut Wolf (Faruk, 1994: 3) sosiologi sastra sebagai tanpa bentuk, tidak terdefinisikan, kumpulan yang belum utuh.
a.Tentang kepengarangan
b.Tentang produksi dan distribusi karya sastra
c.Tentang sastra dalam masyarakat primitive
d.Tentang hubungan nilai dalam seni dan nilai dalam masyarakat
e.Tentang data historis mengenai hubungan sastra dan masyarakat
f.Sosiologi Perstehen atau fenemenenologis
d.Daiches: data social tidak akurat untuk menilai karya sastra
Kritikus lain yang melancarkan serangan terhadap campur tangan sosiologi dalam kritik diperhatikan, yaitu : pertama masalah hubungan data sosiologis dan kritikus sastra dan kedua hubungan antara nilai sosiologis dan nilai sastra.
3)Jelaskan konsep-konsep sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Ian Watt, Wellek dan Garbstein!
Jawaban:
a.konsep sosiologi sastra menurut Ian Watt ( Damono,1978;3) Mengemukakan bahwa dalam sosiologi sastra yang dipelajari meliputi:
Konteks social pengarang. a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencaharian (pengayom, dari masyarakat atau kerja rangkap), misalnya Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bahcri yang bekerja sebagai penyair saja demikian juga Rendra dengan teaternya. b)keprofesionalisme kepengarangan, misalnya Chairil Anwar yang murni yang murni sebagai sastrawan. c)masyarakat apa yang dituju: karya-karya Danarto dan Sutardji Calzoum.
Sastra sebagai cermin masyarakat. Sastra dapat mencerminkan masyarakat, Menampilkan factor-faktor dalam masyarakat: lintah darat, kawin paksa (Siti Nurbaya).
Jender sastra sering merupakan satu sikap kelompok tertentu. Contoh novel-novel karya Putu Wijaya.
Sastra yang menampikan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya. Contohnya novel Merahnya Merah (menceritakan kehidupan gelandangan)
b.konsep sosiologi sastra menurut Wellek dan Waren.
Menurut Wellek konsep sosiologi sastra melibatkan sosiologi pengarang, sosiologi karya dan sosiologi pembaca.
Sosiologi Pengarang.
Sosiologi pengarang profesi pengarang dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra latar belakang social, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.
Sosiologi Karya
Sosiologi karya maksudnya isi karya sastra tujuan serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah social. Pandangan-pandangan Wellek dan Warren tentang sosiologi karya mencakup pendekatan-pendekatan yang dapat diterapkan di dalam penilitian.
Sosiologi Pembaca
Yang terakhir adalah permasalahan pembaca dan dampak social karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar social, perubahan dan perkembangan social.
c.konsep sosiologi sastra menurut Garbstien.
Adapun secara singkat Garbstien mengungkapkan konsep tentang sosiologi sastra, yaitu:
karya sastra tidak dapat dipahami selengkapnya tanpa dihubungkan dengan kebudayaan dan peradaban yang menghasilkannya.
Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk teknik penulisnya.
Karya sastra bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu prestasi.
4) Apa yang dimaksud pandangan karya sastra merupakan cerminan zaman?
Jawaban: Pandangan karya sastra merupakan cerminan zaman yaitu pandangan yang beranggapan bahwa karya sastra merupakan cerminan langsung dari berbagai struktur social, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas. Dalam hal ini tugas sosiologis sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi-situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya.
5) Jelaskan mengapa Swingewood memberikan pandangan yang lebih positif dan tidak berpihak pada pandangan yang menganggap sastra sebagai sampingan dalam analisis sosiologis karya sastra!
Jawaban: Karena dalam melakukan analisis sosiologis terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati mengartikan slogan ”sastra adalah cermin masyarakat” dan selanjutnya slogan tersebut melupakan pengarang, kesadaran dan tujuannya. Swingewood menyadari bahwa sastra diciptakan pengarang dengan menggunakan seperangkat peralatan tertentu dan seandainya sastra memang merupakan cermin masyarakatnya.
Pengertian Sosiologi Sastra
Sastra
merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang
pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri
ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari
masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat.
Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra
yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota
masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat
mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang
membesarkan sekaligus membentuknya.
Senada dengan pernyataan diatas, Damono mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang (2003:1). Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Senada dengan pernyataan diatas, Damono mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang (2003:1). Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Rahmat Djoko
Pradopo (1993:34) menyatakan bahwa tujuan studi sosiologis dalam
kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan
antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat.
Pendekatan
sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh
perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya
adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan
tersebut beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari
berbagai segi struktur sosial hubungan kekeluargaan, pertentangan
kelas, dan lain-lain. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah
mengubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan
pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya.
Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra yang bersifat pribadi itu
harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial.
Pendekatan sosiologi sastra yang paling
banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek
dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra
merupakan cermin zamannya. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra
adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi
ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal
usulnya. Pedekatan yang dilakukan terhadap karya sastra pada dasarnya
ada dua, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik.
Unsur-unsur merupakan unsur-unsur dalam yang diangkat dari isi karya
sastra, seperti tema, alur atau plot, perwatakan, gaya bahasa dan
penokohan. Sedangkan unsur-unsur ekstrinsik berupa pengaruh dari luar
yang terdapat dalam karya sastra itu diantaranya sosiologi, politik,
filsafat, antropologi dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini merupakan
pendukung dalam pengembangan karya sastra, dengan demikian ilmu-ilmu
tersebut erat hubungannya dengan karya sastra. Analisis aspek
ekstrinsik karya sastra ialah analisis karya sastra itu sendiri dari
segi isinya, dan sepanjang mungkin melihat kaitannya dengan
kenyataan-kenyataan dari luar karya sastra itu sendiri. Pendekatan
sosiologis atau pendekatan ekstrinsik biasanya mempermasalahkan
sesuatu diseputar sastra dan masyarakat bersifat sempit dan
eksternal. Yang dipersoalkan biasanya mengenai hubungan sastra dan
situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat istiadat, dan
politik. Dapat dipahami bahwa bilamana seseorang ingin mengetahui
keadaan sosiologis dari suatu masa karya tertentu ditulis, kita
memang belum tentu dapat mengenal tata kemasyarakatan yang ada pada
waktu itu, tetapi setidak-tidaknya kita dapat mengenal tema mana yang
kira-kira dominan pada waktu itu melalui pendekatan sosiologis. Suatu
hal yang perlu dipahami dalam melakukan pendekatan sosiologi ini
adalah bahwa walaupun seorang pengarang melukiskan kondisi sosial
yang berada di lingkungannya, namun ia belum tentu menyuarakan
keinginan masyarakatnya. Dari arti ia tidaklah mewakili atau
menyalurkan keinginan-keinginan kelompok masyarakat tertentu, yang
pasti pengarang menyalurkan atau mewakili hati nuraninya sendiri, dan
bila ia kebetulan mengucapkan sesuatu yang bergejolak dimasyarakat,
hal ini merupakan suatu kebetulan ketajaman batinnya dapat menangkap
isyarat-isyarat tersebut. Dari berbagai pandangan di atas dapat
disimpulkan bahwa analisis sosiologi sastra bertujuan untuk
memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan antarunsur yang
membangun sebuah karya sastra dari aspek kemasyarakatan pengarang,
pembaca, dan gejala sosial yang ada. 2.2 Teori Pendekatan Sosiologi
Sastra Menurut Ratna (2003 : 2) ada sejumlah definisi mengenai
sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan
objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara
lain: 1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek
kemasyarakatannya. 2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang
disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung didalamnya. 3.
Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan
masyarakat yang melatar belakanginya. 4. Sosiologi sastra adalah
hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat. 5.
Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara
sastra dengan masyarakat. Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111)
membagi sosiologi sastra sebagai berikut : 1. Sosiologi pengarang,
profesi pengarang, dan institusi sastra, masalah yang berkaitan
disini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial
status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai
kegiatan pengarang diluar karya sastra, karena setiap pengarang
adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial.
Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat
meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini,
informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi
pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi
pengarang (Wellek dan Warren, 1990: 112) 2. Sosiologi karya sastra
yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok
penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang
menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini
mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan
sosial. (Wellek dan Warren, 1990: 122) Beranggapan dengan berdasarkan
pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang
pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya.
Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat,
buku sumber sejarah peradaban. 3. Sosiologi sastra yang memasalahkan
pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan
mempengaruhi masyarakat, seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi
juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia
rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya. Klasifikasi Wellek dan
Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989 : 3-4)
yang meliputi hal-hal berikut: 1. Konteks Sosial Pengarang Ada
kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan
kaitannya dengan masyarakat, pembaca termasuk juga faktor-faktor
sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus
diteliti yang berkaitan dengan : 1) Bagaimana pengarang mendapat mata
pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat
secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya; 2) Profesionalisme
dalam kepengaragannya; dan 3) Masyarakat apa yang dituju oleh
pengarang. 2. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat Maksudnya seberapa
jauh sastra dapat dianggap cermin keadaan masyarakat. Pengertian
“cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalah
tafsirkan dan disalah gunakan. Yang harus diperhatikan dalam
klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah : 1) Sastra
mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu
ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya
itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis; 2) Sifat “lain
dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan
penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya; 3) Genre sastra sering
merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap
sosial seluruh mayarakat; 4) Sastra yang berusaha untuk menampilkan
keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat
dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama
sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih
dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang
masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang
diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
3. Fungsi Sosial Sastra Maksudnya seberapa jauh nilai sastra
berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal
yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut: 1) Sudut pandang
ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan
karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai
pembaharu dan perombak; 2) Sastra sebagai penghibur saja; 3) Sastra
harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. Menurut Ratna (2003:
332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra
memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus
diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut: 1. Karya
sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita,
disalin oleh penyalin, dan ketiganya adalah anggota masyarakat. 2.
Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan
yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga di fungsikan
oleh masyarakat. 3. Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan
dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah
mengandung masalah kemasyarakatan. 4. Berbeda dengan ilmu
pengetahuan, agama, adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya
sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat
jelas sangat berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut. 5. Sama
dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas,
masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya. Berdasarkan
uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti
melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya
peneliti menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat
dan sebaliknya. Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti
menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan
dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan sosial, budayanya.
Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan
masyarakat terhadap teks sastra.
http://kandar-dblues.blogspot.com/2012/10/teori-sosiologi-sastra.html
http://desymoody.blogspot.com/2013/03/pengertian-sosiologi-sastra.html
http://generallymateri.blogspot.com/2012/03/sosiologi-sastra.html
0 komentar:
Posting Komentar